Kudeta Dalam Gereja Sebuah Fenomena Yang Menyedihkan
Artikel Kata kudeta biasanya kita dengar di dunia politik: perebutan kekuasaan, penggulingan pemerintahan, atau intrik untuk menguasai tahta. Tetapi, belakangan, kata ini mulai bergema juga di lingkungan yang semestinya kudus: gereja.
Ya, “kudeta dalam gereja” bukan lagi istilah hiperbola. Sebuah kenyataan getir yang, jika jujur, sudah pernah—atau sedang—terjadi di banyak tempat.
Kudeta dalam gereja tidak selalu datang dengan teriakan lantang atau konflik terbuka. Ia sering datang diam-diam: lewat percakapan kecil di sudut ruang pelayanan, lewat pesan singkat yang menyebarkan keraguan, lewat rapat-rapat yang dikemas “demi kebaikan bersama”. Tetapi di balik semua itu, tersimpan semangat yang sama: kehendak untuk mengambil alih sesuatu yang bukan haknya.
Kudeta Tidak Terdengar
Tidak semua kudeta memakai mikrofon.
Ada yang halus, lembut, bahkan tampak rohani. Kudeta jenis ini bersembunyi di balik doa, persekutuan, atau wacana teologis. Orang-orangnya tampak saleh, ucapannya benar, tapi arah geraknya menggeser pusat dari Kristus kepada kelompoknya sendiri.
Mereka tidak berkata “kami ingin berkuasa”, tetapi, “kami ingin perubahan.”
Mereka tidak berkata “kami melawan”, tetapi, “kami peduli.”
Namun pelan-pelan, tubuh Kristus terbelah: bukan oleh perbedaan doktrin, melainkan oleh kepentingan yang berselimut rohani.
Inilah ironi besar gereja modern: semakin banyak berbicara tentang kasih, semakin mudah terjebak dalam perebutan kuasa yang halus.
Di balik mimbar, di meja rapat, bahkan di grup pelayanan, roh persaingan sering lebih kuat daripada roh pengabdian. Net