News Breaking
Youtube
wb_sunny

Breaking News

Pdt Dr Ir Henoch Wilianto: KaburAja Dulu: Strategi Hidup atau Sekadar Ngeles

Pdt Dr Ir Henoch Wilianto: KaburAja Dulu: Strategi Hidup atau Sekadar Ngeles


   Pdt Dr Ir Henoch Wilianto 


Beberapa waktu belakangan, tagar #KaburAjaDulu ramai di media sosial. Entah karena lelah menghadapi masalah, malas bertanggung jawab, atau sekadar latah ikut tren, banyak orang merasa kabur dulu adalah solusi dari berbagai situasi. 

REFLEKSI Dari urusan pekerjaan, politik, hingga percintaan—semuanya bisa kena dampak tren ini. Tapi pertanyaannya, apakah kabur memang selalu solusi terbaik? Atau jangan-jangan kita sedang melatih diri menjadi pelari jarak jauh dalam menghadapi kehidupan?

_Antara Kabur dan Bertahan_

Setiap orang punya cara sendiri dalam menghadapi tantangan. Dalam teori coping stress yang dikembangkan oleh Richard Lazarus dan Susan Folkman (1984), ada dua pendekatan utama: menghadapi masalah secara langsung atau menghindarinya untuk mengurangi tekanan emosional. 
Dalam beberapa kasus, melangkah menjauh adalah langkah paling masuk akal. Namun, jika dijadikan kebiasaan, bisa jadi malah semakin sulit untuk menghadapi kenyataan.

Sementara itu, menurut Émile Durkheim (1897) dalam teorinya tentang anomi, ketika aturan semakin longgar dan harapan semakin samar, banyak orang cenderung kehilangan pegangan. Fenomena ini membuat banyak yang lebih memilih untuk menghindari masalah daripada menghadapinya. 

Ada perasaan bahwa tidak ada yang bisa benar-benar diandalkan, sehingga langkah kabur terasa lebih rasional dibandingkan berjuang dalam ketidakpastian.

Di Indonesia, sulitnya mendapatkan pekerjaan juga menjadi salah satu alasan utama di balik fenomena ini. Banyak lulusan baru yang merasa putus asa karena sulitnya masuk ke dunia kerja, sementara tekanan sosial untuk sukses semakin tinggi. Dalam kondisi seperti ini, banyak yang memilih untuk mencari peluang di luar negeri atau sekadar menghindari ekspektasi yang terlalu besar.

Di sisi lain, di era informasi yang serba cepat, tekanan untuk selalu tampil baik dan sukses membuat banyak orang kewalahan.
Daripada menghadapi realitas yang tak sesuai ekspektasi, menghilang sejenak atau bahkan selamanya menjadi pilihan yang menggoda. Sayangnya, sering kali hal ini hanya menunda masalah yang pada akhirnya tetap harus dihadapi.

Kabur yang Berbuah Manis vs Kabur yang Berakhir Tragis

Tidak semua langkah kabur itu buruk. Ada yang berhasil menghindari situasi yang tidak sehat, tetapi ada juga yang justru semakin terjebak dalam masalah baru.

Yang Berhasil:

Albert Einstein – Pergi dari negaranya yang penuh tekanan dan menemukan kebebasan untuk berkarya, menjadikannya ilmuwan paling berpengaruh.

Jack Ma – Berulang kali mengalami penolakan dan kegagalan, tetapi memilih mencari jalur lain yang akhirnya membawanya ke puncak kesuksesan.

Orang yang keluar dari hubungan beracun – Kadang, satu-satunya cara untuk bertahan adalah pergi. Banyak yang menemukan hidup lebih baik setelah meninggalkan situasi yang merugikan.

Yang Gagal:

Mereka yang kabur dari tanggung jawab hukum – Beberapa orang berusaha melarikan diri dari konsekuensi, tapi akhirnya tetap harus menghadapi akibatnya.

Investor yang gegabah keluar dari pasar saham – Takut rugi, buru-buru keluar, lalu menyesal ketika harga melonjak naik.

Mahasiswa yang menghindari tugas akhir – Mengulur-ulur waktu hanya membuat beban semakin berat dan masa depan tertunda lebih lama.

_Jangan Langsung Kabur, Coba Pikirkan Lagi!_

Dalam politik, istilah post-truth yang dikemukakan oleh Ralph Keyes (2004) menunjukkan bagaimana kebohongan sering kali lebih diterima daripada kebenaran.
Banyak tokoh publik menggunakan strategi kabur sebagai taktik untuk menghindari konsekuensi, berharap publik melupakan masalah yang mereka hadapi. Namun, dalam jangka panjang, tindakan ini justru memperburuk citra dan memperpanjang persoalan.

Sebagai penulis, penting untuk menyadari bahwa tidak semua masalah harus dihadapi dengan kepala tertunduk dan beban berat di pundak. Tapi tidak semua juga bisa diselesaikan dengan melarikan diri. Sebelum memutuskan untuk kabur, ada baiknya menimbang beberapa hal:

✅ Apakah situasi ini memang tidak bisa diperbaiki? 
✅ Apakah ada cara lain selain menghindar? 
✅ Apakah keputusan ini akan memperbaiki keadaan dalam jangka panjang? 
✅ Apakah ini hanya reaksi sesaat karena emosi?

Jika jawabannya lebih banyak mengarah pada kebutuhan untuk melindungi diri dan membuka peluang baru, mungkin memang sudah saatnya pergi. Tapi jika hanya karena malas atau takut menghadapi konsekuensi, mungkin ada baiknya tetap bertahan dan mencari cara lain.

_Agar Tidak Jadi Budaya Kabur Massal_

Agar tren ini tidak semakin merajalela, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

Membangun ketahanan mental sejak dini – Mengajarkan anak-anak bahwa hidup penuh tantangan, dan cara menghadapinya lebih penting daripada sekadar lari.

Sistem yang transparan dan bertanggung jawab – Agar masyarakat percaya bahwa menghadapi masalah lebih baik daripada kabur.

Kesadaran akan kesehatan mental – Jika tekanan terlalu berat, mencari bantuan lebih baik daripada menghilang tanpa arah.

Lingkungan yang mendukung – Bersama-sama menghadapi tantangan lebih mudah dibandingkan menghadapinya sendirian.

Kesimpulan: Kabur Bukan Selalu Salah, tapi Jangan Jadi Kebiasaan!

Fenomena #KaburAjaDulu adalah cerminan dari bagaimana masyarakat menghadapi tekanan hidup. Ada kalanya kabur itu strategi yang cerdas, tapi kalau dilakukan tanpa berpikir panjang, bisa jadi bumerang. Hidup memang berat, tapi kalau terus-menerus kabur, kapan bisa belajar jadi lebih kuat?

Sebagai penulis, penting untuk mengajak pembaca bertanya pada diri sendiri: Ini strategi atau sekadar menghindar?
Henoch Wilianto
Rohaniwan dan pengamat sosial.

Tags

Newsletter Signup

Sed ut perspiciatis unde omnis iste natus error sit voluptatem accusantium doloremque.